Asal
mula kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis Kuno dari kata menagement,
yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Pengertian secara bebas
Manajemen berarti sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals)
secara efektif dan efesien. Manajemen Keuangan Syariah
adalah sebuah kegiatan manajerial keuangan untuk mencapai tujuan dengan
memperhatikan kesesuaiannya pada prinsip-prinsip syariah.
Prinsip syariah
pada aspek keuangan meliputi :
1. Setiap perbuatan akan dimintakan
pertanggungjawabannya.
“Dan
sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan
kamu kepadaKami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan;dan mereka aman sentosa di
tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga)”. (QS. As Sabaa’ 34; 31)
2. Setiap harta yang diperoleh
terdapat hak orang lain.
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyaat 51; 19).
”Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagisyafa'at. Dan orang-orang kafir itulah
orang-orang
yang zalim”. (QS.Al Baqarah 2; 254)
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (QS.Al Baqarah 2; 261).
3. Uang sebagai
alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahalAllah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampaikepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apayang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah.Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; merekakekal di dalamnya”. (QS.Al Baqarah 2; 275)
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, makariba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamumaksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yangmelipat gandakan (pahalanya)”.(Qs. Ar
Ruum 30; 39)
Berdasarkan
prinsip tersebut diatas maka dalam perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan
pengawasan yang berhubungan dengan keuangan secara syariah adalah :
- Setiap
upaya-upaya dalam memperoleh harta semestinya memperhatikan cara-cara yang
sesuaidengan syariah seperti perniagaan/jual beli, pertanian, industri,
jasa-jasa.
- Obyek
yang diusahakan bukan sesuatu yang diharamkan.
- Harta
yang diperoleh digunakan untuk hal-hal yang tidak dilarang/mubah seperti
membeli barang konsumtif, rekreasi dan sebagainya. Digunakan untuk hal-hal yang
dianjurkan/sunnah seperti infaq,waqaf, shadaqah. Digunakan untuk hal-hal yang
diwajibkan seperti zakat.
- Dalam
hal ingin menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai
alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara
langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syariah dan reksadana
syariah.
B.
Kritik Praktek Ekonomi Islam
Beberapa
pakar ekonomi Islam seperti Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi dan Dr. Mohammad
Obaidullah serta pemikir keuangan syariah seperti Pr.Dr. Volker Nienhaus
melontarkan kritik terhadap praktek ekonomi Islam saat ini, khususnya di sektor
keuangan Islam yang dilakukan oleh mayoritas negara muslim. Kritikan Siddiqi
seperti yang tercuplik dalam artikelnya Muhammad Fahim Khan (Islamic Science of
Economics: to be or not to be); “Most of us have been busy competing with
conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors
creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to
demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to
the Islamic paradigm that values human relations above material possessions”
Sementara itu Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.
Sementara itu Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.
Oleh
sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa
mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi
transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih
lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan
menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat
ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap
aktifitas ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua
transaksi keuangan Islam.
Sedangkan
Prof.Dr. Volker Nienhaus berpendapat bahwa dalam praktek keuangan syariah
banyak ditemui structure products yang diyakini telah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah, dimana produk-produk tersebut pada dasarnya tidak
dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar
mengakui kesyariahan produk tersebut, seperti produk Tawarruq and Comodity
Murabaha, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan
Total Return Swaps. Dan ketika produk-produk tersebut diterapkan ternyata akan
mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity
Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan
sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps). Konsekwensi dari
penerapan produk-produk seperti itu, ekonomi tidak mengalami peningkatan wealth
dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic vulnerability.
Implikasi
selanjutnya adalah pada tahap awal akan terjadi Systemic Commingling, dimana
Islamic Finance berinteraksi dengan konvensional, yang diikuti dengan Islamic
Finance melakukan emulation (peniruan) terhadap produk-produk konvensional.
Pada tahap selanjutnya akan terjadi Systemic Inclusion, dimana Islamic Finance
berintegrasi dengan Conventional Finance, sehingga terjadi absorption Islamic
Finance dalam operasi Conventional Finance, yang pada akhirnya sulit untuk
membedakan antara produk Islamic Finance dan produk Conventional Finance. Hal
ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya: (i) adanya kompetisi dari
bank-bank konvensional; (ii) adanya demand akan emulated products (karena
masyarakat yang belum well educated pada Islamic Economic/Finance); (iii) lebih
tingginya profit dari structure products; (iv) sharia scholar yang mengutamakan
legalistic approach dari pada substansi ekonomi Islam dan unfavourable regulatory
environment (sesuai kritik Obaidullah). Sehingga agar Islamic Finance tetap
sejalan dengan cita-cita penerapan keuangan syariah, maka pada masa yang akan
datang perlu diupayakan cara-cara mempertahankan distinction dari Islamic
Finance meski dalam prakteknya di lapangan ia akan berdampingan (Systemic
Coexistence) dengan Conventional Finance.
Kritikan-kritikan
seperti ini, sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan para pakar akan
keberhasilan sistem ekonomi Islam dalam menjawab tantangan kerapuhan sistem ekonomi
yang sedang berlangsung. Bahkan kritikan ini mulai memunculkan keraguan
terhadap keefektifan ekonomi/keuangan Islam sebagai sistem ekonomi alternatif
yang mampu menggantikan sistem ekonomi mainstream. Operasionalnya yang tidak
berbeda, struktur produk yang sama, esensi transaksi yang identik, bahkan tidak
ada perbedaan mencolok dari prilaku pelaku ekonomi membuat banyak pihak mulai
bertanya-tanya, mampukah ekonomi/keuangan Islam bertahan lama. Karena pada
akhirnya dengan kecenderungan yang ada saat ini ekonomi/keuangan Islam akan
blended (melebur) dalam sistem ekonomi mainstream juga.
C.
Keuangan Syariah Indonesia
Ditengah
kritikan seperti itu, Indonesia secara perlahan mulai dikenal luas oleh dunia,
memiliki aplikasi ekonomi/keuangan syariah yang berbeda dengan negara-negara
kebanyakan. Indonesia yang dalam forum internasional keuangan syraiah dikenal
“ortodok” (mengambil istilah Dr. Zeti Akhtar Azis, Gubernur BNM – bank
sentralnya Malaysia) atau konservatif dalam penerapan prinsip-prinsip syariah, kini
dikenali memiliki praktek ekonomi Islam yang lebih mendekati substansi ekonomi
Islam (jika sulit juga diklaim lebih syariah) serta relatif komplit pada semua
aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi syariah bukan hanya di sektor yang memang
telah banyak dikembangkan seperti perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan
non-bank lainnya, tetapi perkembangannya merambah pada sektor keuangan mikro,
keuangan sosial dan praktek-praktek usaha riil yang mencoba memenuhi
prinsip-prinsip syariah.
Disamping
itu, sensitifitas berbagai kalangan terhadap praktek syariah membuat
aplikasinya oleh pelaku ekonomi termasuk regulatornya, sangat berhati-hati
dengan terus mengedepankan substansi prinsip-prinsip syariah yang telah
digariskan. Esensi keuangan syariah yang mensyaratkan keterkaitan erat
transaksi keuangan dengan usaha produktif ekonomi (riil) membuat produk-produk
keuangan syariah Indonesia relatif memiliki bentuk, warna dan karakteristik
yang berbeda dengan negara-negara lain.
Sebagai
contoh di sektor perbankan, jika membandingkan perbankan syariah Indonesia
dengan Malaysia, maka terlihat bagaimana karakteristik perbankan yang berbeda
yang dimiliki Indonesia dan Malaysia. Dari struktur produk, produk perbankan
syariah Malaysia dominan dikuasai oleh produk fixed income yang mekanisme
akadnya mirip konvensional. Produk pembiayaan dominan yang dulu dikuasai oleh
akad bay’ al innah kini berganti nama dengan commodity murabaha (99%!), yang
esensi mekanismenya sama saja.
Commodity
murabaha identik dengan akad kredit konvensional mengingat esensi transaksi
produktif (ekonomi riil) tidak ada dalam transaksi tersebut. Uniknya atau
mungkin ironisnya, dalam satu kesempatan seorang direktur salah satu bank
syariah Malaysia pernah menyebutkan bahwa produk pembiayaan bank syariah
berbasis bagi-hasil tidaklah cocok dengan bisnis bank (syariah), sehingga
direktur ini bersikeras bahwa produk berbasis jual-beli menjadi pilihan utama.
Argumentasi ini semakin beralasan mengingat produk berbasis jual-beli memang
lebih fleksibel direkayasa untuk menjadi mirip dengan produk konvensional.
Sementara
di Indonesia perbankan syariahnya memiliki produk pembiayaan yang relatif lebih
bervariatif. Meskipun produk berbasis jual-beli (murabahah, ijarah dan
istishna) masih dominan (65%) tetapi mekanisme produk ‘fixed income” itu
betul-betul berbasiskan underlying asset riil. Yang menggembirakan adalah share
produk pembiayaan berbasis bagi-hasil (35%) terus membesar dibandingkan produk
berbasis jual-beli. Walaupun ada kritik produk berbasis bagi-hasil masih banyak
dilakukan bukan dengan end-user seperti koperasi-koperasi serba usaha atau
dengan mekanisme yang belum sepenuhnya “profit sharing”, namun esensi transaksi
berbasis aktifitas usaha produktif telah disiplin dilakukan.
Pada
sektor pasar modal dan non-bank, produk keuangan syariah yang beredar di pasar
global dan di pasar domestik negara-negara lain, cenderung mengembangkan
produk-produk yang mekanismenya identik pula dengan konvensional. Contohnya produk
sukuk yang menggunakan akad ijarah (asset based) atau malaysia menggunakan akad
bay al dayn, dimana esensinya sama dengan obligasi konvensional. Atau
surat-surat berharga syariah lainnya yang menggunakan akad commodity murabaha.
Belum lagi pengembangan yang sampai pada transaksi di pasar derivatif yang
diklaim sudah sesuai syariah, meski mudah menyimpulkan bahwa esensi
instrumen-instrumen itu sama dengan konvensional.
Alat
ukur sederhananya mudah sekali, jika transaksi instrumen keuangan syariah itu
tidak memiliki underlying asset riil, maka instrumen itu tidak sesuai syariah.
Namun seringkali dalih dari mereka yang membenarkan instrumen mimicry itu
adalah bahwa sepanjang ada barang yang ditransaksikan (umumnya dijual-belikan)
maka sah secara syariah, padahal barang tersebut hanya jadi alat justifikasi
syariah, bukan menjadi objek atau substansi utama yang ditransaksikan.
Contohnya, ada jual-beli barang di commodity murabaha tapi bukan itu esensi
transaksi, melainkan transaksi kreditnya (uang). Oleh sebab itu, kini Indonesia
mulai juga mengembangkan sukuk berbasis projek investasi (project based),
seperti projek-projek infrastruktur yang saat ini gencar dibangun oleh
pemerintah. Meski pada periode awal indonesia juga menerapkan
instrumen-instrumen keuangan syariah seperti kebanyakan negara lain.
Komposisi
dan mekanisme transaksi dari produk-produk keuangan syariah yang dimiliki
Indonesia ini sebuah fakta yang tidak dimiliki negara-negara lain yang juga
mengembangkan industri perbankan dan keuangan syariah. Tidak heran, karena
mayoritas negara di dunia mengembangkan industri keuangan syariahnya dengan
pendekatan peniruan (mimicry) dengan konvensional, maka banyak pakar yang
meragukan orisinalitas sistem ekonomi/keuangan Islam, baik pakar konvensional
maupun pakar syariah. namun pada beberapa kesempatan, baik seminar, konferensi
dan forum kelompok kerja, banyak negara yang kini menyadari bahwa Indonesia
memiliki bentuk industri syariah yang berbeda, aplikasi ekonomi syariah yang
memiliki warna lain.
D.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah Indonesia
Yang
membuat Indonesia berbeda (kata “berbeda” mungkin cukup memadai jika kata
“membanggakan” dianggap terlalu berlebihan) dalam aplikasi dan pengembangan
ekonomi Islam bukan hanya sebatas di sektor keuangan atau perbankan syariah,
tetapi juga ternyata berkembang pula pada sisi-sisi ekonomi yang lain, seperti
berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro syariah, lembaga keuangan sosial
dan usaha-usaha sektor riil yang bersemangat untuk comply dengan
prinsip-prinsip syariah.
Berkembangnya
lembaga keuangan mikro syariah semisal Baitul Mal wa Tamwil (BMT) atau Koperasi
Jasa Keuangan Syariah (KJKS), baik di perkotaan maupun daerah pedesaan, seolah
menggenapi semangat aplikasi keuangan syariah di tanah air. Dengan jumlah yang
diperkirakan lebih dari 3000 unit, BMT/KJKS telah menjadi ikon tersendiri dalam
dunia keuangan syariah Indonesia. Struktur usaha di perekonomian nasional yang
99% didominasi oleh UMKM, maka kehadiran BMT/KJKS menjadi sangat penting dalam
melayani kebutuhan jasa keuangan syariah masyarakat ekonomi di segmen bawah.
Dengan besarnya jumlah pelaku UMKM dan BMT/KJKS, Indonesia layak disebut negara
terdepan dalam aplikasi Islamic Microfinance.
Saat
ini Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai laboratorium terbesar dalam
aplikasi microfinance. Bukan hanya keuangan mikro syariah tetapi juga keuangan
mikro konvensional. Variasi bentuk lembaga keuangan mikro dari koperasi, BMT,
badan kredit desa (BKD) dan lain-lain, menempatkan Indonesia sebagai negara
percontohan untuk aplikasi keuangan mikro. Khusus untuk keuangan mikro syariah,
perlahan-lahan aplikasi keuangan mikro syariah itu menjadi branding indonesia.
Dalam beberapa forum, workshop, conference atau field visit (yang dilakukan
delegasi negara lain ke Indonesia), materi keuangan mikro syariah sudah menjadi
“menu” tetap yang diminta dari Indonesia.
Berbeda
dengan negara-negara lain, aplikasi keuangan mikro di Indonesia bukanlah
didominasi oleh program atau projek pemberdayaan masyarakat kecil dari
pemerintah yang dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi itu
dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan yang bersifat mandiri, beroperasi dalam
komunitas terbatas dan dilakukan oleh masyarakat tempatan (lokal). Modal
umumnya diupayakan dari kongsi kelompok masyarakat tertentu, baik komunitas
masjid, tetangga, pesantren, profesi dan lain-lain. Meski begitu pada beberapa
kasus telah ada lembaga keuangan mikro syariah yang sangat besar, dimana kantor
cabangnya telah ada di beberapa provinsi. Beberapa peneliti internasional
bahkan secara spesifik telah mengangkat sektor keuangan mikro syariah Indonesia
ini untuk menjadi objek penelitian, bahkan beberapa literatur dunia telah
merekomendasikannya untuk di replikasi oleh negara-negara lain.
E.
Lembaga Keuangan Sosial Syariah Indonesia
Pada
ranah yang berbeda di Indonesia berkembang pula lembaga-lembaga keuangan sosial
Islam yang menyasar masyarakat paling bawah, rakyat miskin (poorest of the
poor). Pelayanan keuangan syariah bagi rakyat miskin berbentuk penyediaan
kebutuhan pokok dan pemberdayaan ekonomi menggunakan dana-dana sosial Islam
seperti Zakat, Infak, sedekah dan wakaf. Uniknya lembaga keuangan sosial
syariah ini tidak tersentralisasi dibawah lembaga pemerintah tetapi mandiri
diinisiasi oleh komunitas-komunitas tertentu yang juga berlatar belakang
variatif layaknya lembaga keuangan mikro syariah. ada Dompet Dhuafa (DD) yang
diinisiasi oleh Harian Republika, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) yang berdiri
atas respon kepedulian konflik di Maluku, Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berdiri
sebagai respon dari banyaknya bencana alam, Rumah Zakat (RZ) yang muncul dari
komunitas pengajian, dan banyak lagi lembaga lain pada tingkat nasional maupun
lokal. Saat ini diperkirakan jumlah lembaga keuangan sosial syariah (swasta) ini
diperkirakan mencapai 400-500 lembaga.
Banyaknya
lembaga keuangan sosial syariah ini, meski banyak kritik yang dialamatkan
padanya, namun harus diakui peran dan kontribusinya dalam melayani rakyat
miskin yang selama ini luput dari perhatian pemerintah. Keberadaan mereka
memacu program-program inovatif-kreatif dalam melayani rakyat miskin,
memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat lain yang terbilang mampu
kepada saudara mereka yang miskin, meningkatkan profesionalitas dan manajemen
pemberdayaan masyarakat tak mampu, atau sekedar memperbanyak outlet bagi rakyat
miskin dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya, bukan hanya bersandar
pada program pemerintah tetapi juga lembaga-lembaga sosial dari masyarakat
sendiri (swasta).
F.
Praktek Usaha Riil Indonesia
Sementara
itu, di sektor usaha ekonomi itu sendiri, pada semua skala usaha
(mikro-kecil-menengah-besar) sudah pula muncul kesadaran untuk menyesuaikan
praktek usahanya dengan prinsip-prinsip syariah. seperti praktek bisnis
perhotelan yang mengklaim tidak menjajakan minuman keras, bisnis salon yang
khusus bagi muslimah, bengkel yang transaksi dan pelayanan mengedepankan
akhlak-hukum syariah, produk pertanian yang ramah lingkungan dan tidak
merugikan konsumen akibat pestisida atau zat racun lainnya (organik), rumah
makan yang bernuansa syariah, real estate yang menawarkan konsep Islami dan
obat-obatan yang merujuk pada tradisi pengobatan Islam. Atau sekedar unit-unit
usaha yang mulai tidak mau mendapatkan bantuan modal dari lembaga-lembaga
keuangan non-syariah.
Gelombang
aplikasi muamalah ini memang mencerminkan kesadaran masyarakat Indonesia yang
mulai menyeluruh, pengetahuan Islam yang semakin baik berbuah pada tuntutan
penyediaan pelayanan-pelayanan muamalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Tidak mengherankan memang, karena sebagai indikasi awal adalah boomingnya
permintaan buku-buku Islam oleh masyarakat yang hingga saat ini sudah bertahan
lebih dari 15 tahun.
0 komentar:
Posting Komentar