Capital Budgeting

Rabu, 20 November 2013


Capital Budgeting adalah keseluruhan proses dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dana, jangka waktu pengembalian dana tersebut melebihi satu tahun (Suratiyah, 2006) dan menurut Pangestu (2001) Capital Budgeting adalah menilai rencana investasi yang akan kembali dalam jangka panjang. Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa datang.
Investasi berkaitan engan berbagai macam aktivitas dan terbagi menjadi dua, yaitu aset  riil dan aset finansial.  Aset riil misalnya tanah, emas, mesin dan bangunan.  Aset finansial misalnya deposito, saham, dan obligasi.
Menurut Tandelilin (2001), tujuan investasi adalah untuk :
*     Menghasilkan sejumlah uang
*     Untuk mendapat kehidupan yang lebih layak / baik dimasa yang akan datang.
Menurut Soetrisno (1985) yang menjelaskan tentang kriteria usulan proyek, investasi adalah pengeluaran yang pertama atau ongkos permulaan proyek, yaitu ongkos yang dikeluarkan mulai studi kelayakan, pembangunan proyek sampai dengan pembukaan proyek .Ongkos / biaya ini disebut dengan project cost (ongkos proyek) atau ongkos permulaan (initial cost).  Dalam analisis criteria usulan proyek tahun permulaan proyek ditandai dan disebut dengan tahun ke nol.
       Aspek Penting dalam Capital Budgeting
1. Gunakan Selalu Cash Flow
Dalam melakukan capital budgeting, yang selalu digunakan adalah cash flow, bukannya accounting profit.Cash flow dan laba akuntansi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda. Laba akuntansi baru dapat direalisasikan ketika diterima di kemudian hari, sementara arus kas benar-benar merupakan kas yang sudah diterima di tangan kita dan siap untuk diinvestasikan kembali.
Misalnya, jika kita mempunyai tanah, perlengkapan dan aset tetap lainnya, tentunya terdepresiasi selama beberapa tahun umur ekonomisnya. Dalam perhitungan laba akuntansi, depresiasi dimasukkan dalam komponen beban yang mengurangi laba akuntansi, padahal depresiasi tidak mengurangi arus kas. Sehingga, cash flow menjadi lebih relevan dalam melakukan capital budgeting.

2. Think Incrementally
Berusaha untuk selalu think incrementally, yakni bagaimana tambahan yang dihasilkan oleh suatu proyek terhadap kondisi yang ada sekarang? Apakah dengan mengambil proyek yang satu ini akan menghasilkan tambahan yang menguntungkan, ataukah justru lebih menguntungkan jika tidak melakukan apapun?
Misalnya, ketika perusahaan ingin memperbarui peralatan produksi yang sudah dimilikinya selama beberapa tahun dengan yang baru, dan menjual yang lama. Tentunya harus diperhitungkan incremental cash flow setelah pajak yang dihasilkan dari peralatan produksi yang baru tersebut. Mungkin saja ternyata incremental cash flow yang dihasilkan justru negative karena biaya perawatan peralatan baru lebih mahal, misalnya sementara penghematan tidak terlalu signifikan.

3. PerhitungkanOpportunity Cost
Opportunity cost adalah nilai ekonomis yang hilang ketika seseorang memilih suatu alternative dibandingkan dengan alternative lainnya. Opportunity cost merupakan komponen yang seringkali dilupakan maupun salah dihitung dalam evaluasi capital budgeting. Hal ini seringkali disebabkan karena orang seringkali tidak menyadari adanya peluang lain yang dapat dihasilkannya.
Contoh, misalnya kita mempunyai sebidang tanah pribadi yang kita beli dengan harga Rp 1 miliar, dan ingin digunakan untuk suatu proyek.Harga pasar tanah ini sekarang sekitar 2 miliar. Kesalahan yang seringkali terjadi adalah sama sekali tidak menghitung penggunaan tanah pribadi sebagai opportunity cost atau hanya menghitung Rp1 miliar saja sebagai opportunity cost, padahal potensi penjualannya mencapai Rp2 miliar, yang seharusnya jadi opportunity cost.

4. Sunk Cost Tidak Masuk Perhitungan
Sunk cost adalah biaya yang sudah terjadi di masa lalu dan tidak akan muncul lagi dari suatu proyek atau investasi baru. Oleh karena itu, menjadi tidak relevan untuk memperhitungkan sunk cost dalam suatu analisa capital budgeting, karena biayanya sudah terjadi sementara keputusan investasi yang diambil baru akan terjadi di masa depan.
Misalnya, ketika suatu perusahaan melakukan riset pasar terhadap produknya, maka itu adalah sunk cost. Sehingga, ketika melakukan evaluasi capital budgeting sebelum produksi dijalankan, sunk cost tersebut tidak diikutsertakan, karena memang sudah terjadi dan tidak akan terjadi lagi di masa depan.

5.Konsekuensi proyek
Dalam melakukan analisa capital budgeting, Anda harus punya pandangan jauh ke depan. Arahkan fokus Anda juga kepada implikasi-implikasi yang dihasilkan dari keputusan proyek yang Anda ambil. Apakah ada risiko atau kemungkinan buruk yang memunculkan biaya tidak terduga? Jika ada biaya-biaya yang tersembunyi, perhitungkan juga dalam analisa.
Misalnya, proyek dari pengembangan produk baru, tentunya berpotensi untuk memakan pangsa pasar dari produk yang lama. Sehingga ini juga penting untuk dipertimbangkan.
Langkah-langkah Capital Budgeting:
1.  Biaya proyek harus ditentukan
2.  Manajemen harus memperkirakan aliran kas yg diharapkan dari proyek, termasuk nilai akhir aktiva
3.  Risiko dari aliran kas proyek harus diestimasi. (memakai distribusi probabilitas aliran kas)
4.  Dengan mengetahui risiko dari proyek, manajemen harus menentukan biaya modal (cost of capital) yg tepat untuk mendiskon aliran kas proyek
5.  Dengan menggunakan nilai waktu uang, aliran kas masuk yang diharapkan digunakan untuk memperkirakan nilai aktiva.
6.  Terakhir, nilai sekarang dari aliran kas yg diharapkan dibandingkan dengan biayanya.
     Metode dalam Capital Budgeting
Syamsuddin (2007) menyatakan, ada beberapa metoda dalam Capital Budgeting untuk penentuan rangking investasi dan pengambil keputusan,yaitu:

1. Average Rate of Return
Metode Average Rate of Return atau sering disebut juga dengan Accounting Rate of Return, menunjukkan prosentase keuntungan netto sesudah pajak dihitung dari Average Investment atau Initial investment.Metode ini mendasarkan diri pada keuntungan yang dilaporkan dalam buku (Reported Accounting Income), (Bambang Riyanto, 1995).
Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang mengukur seberapa besar tingkat keuntungan dari invetasi.Metode ini menggunakan dasar laba akuntansi sehingga angka yang dipergunakan adalah laba setelah pajak (EAT) yang dibandingkan dengan rata-rata investasi.
Untuk menghitung rata-rata EAT dengan cara menunjukkan EAT (laba setelah pajak) selama umur investasi dibagi dengan umur investasi. Sedangkan untuk menghitung rata-rata investasi adalah investasi ditambah dengan nilai residu dibagi 2.
Setelah angka accounting rate of return dihitung kemudian dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang diisyaratkan. Apabila angka accounting rate of return lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diisyaratkan, maka proyek investasi ini menguntungkan, apabila lebih kecil daripada tingkat keuntungan yang diisyaratkan proyek ini tidak layak.
Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, karena untuk menghitung ARR cukup melihat laporan rugi-laba yang ada. Sedangkan kelemahan metode ini mengabaikan nilai waktu nilai waktu uang (time value of money) dan tidak memperhitungkanaliran kas (cashflow).
         

Contoh:
Perusahaan “Sari Delima” sedang menilai dua buah proyek A, dan B, yang masing-masing membutuhkan initial investment sebesar Rp. 6.000.000,00 untuk proyek A, dan Rp 7.200.000,00 untuk proyek B. Perusahaan akan menggunakan metode garis lurus (stright-line method) dalam mendepresiasi kedua proyek tersebut. Umur ekonomis masing-masing proyek adalah 6 tahun dan tidak ada nilai residu pada akhir tahun ke-6.
Berdasarkan informasi di atas, maka diketahui bahwa:

Proyek A
Proyek B
Initial Investment
Rp 6.000.000,00
Rp 7.200.000,00
Depresiasi
Rp 1.000.000,00
Rp 1.200.000,00
Jumlah cash inflow untuk masing-masing proyek dapat dicari dengan cara sebagai berikut:
CI = EAT + D
Di mana:    CI       = Cash Inflow
EAT    = Earning after taxes atau laba bersih sesudah pajak
D        = Depresiasi
       
Tabel 1 menyajikan jumlah proyeksi laba bersih sesudah pajak dan cash inflow untuk masing-masing proyek.
Tabel 1
Initial Investment, Earning After Taxes dan Cash Flow untuk
Kedua Usulan Proyek Perusahan “Sari Delima


Proyek A
Proyek B
Initial Investment Rp 6.000.000,00
Initial Investment Rp 7.200.000,00
Tahun
EAT
CI
Tahun
EAT
CI

Rp.
Rp.

Rp.
Rp.
1
1.000.000,00
2.000.000,00
1
3.300.000,00
4.500.000,00
2
1.000.000,00
2.000.000,00
2
1.000.000,00
2.200.000,00
3
1.000.000,00
2.000.000,00
3
800.000,00
2.000.000,00
4
1.000.000,00
2.000.000,00
4
100.000,00
1.300.000,00
5
1.000.000,00
2.000.000,00
5
100.000,00
1.300.000,00
6
1.000.000,00
2.000.000,00
6
100.000,00
1.300.000,00
Rata-rata

1.000.000,00

2.000.000,00


900.000,00

2.100.000,00

Average rate of return
Perhitungan average rate of return didasarkan atas jumlah keuntungan bersih sesudah pajak (EAT) yang tampak dalam laporan rugi-laba. Pengukuran dengan teknik rate of return ini sering pula disebut dengan istilah “accounting rate of return” yang perhitungannya dilakukan sebagai berikut:
Average earning after taxes (rata-rata bersih sesudah pajak):
Average earning after taxes atau rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak dihitung dengan jalan menambah keseluruhan keuntungan bersih sesudah pajak selama umur proyek, kemudian dibagi dengan umur ekonomis proyek tersebut:
Di mana:    Average EAT = rata-rata keuntungan
∑EAT                      = total keuntungan
n                            = umur ekonomis
Rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak untuk kedua  proyek adalah :
Average EAT proyek A     = = Rp.1.000.000,00
Average EAT proyek B     = = Rp 900.000.00
Average investment (Rata-rata investasi):
Rata-rata investasi dihitung dengan jalan membagi dua jumlah investasi. Rata-rata ini mengasumsikan bahwa perusahaan menggunakan metode depresiasi garis lurus dan tidak ada nilai residu atau salvage value pada akhir umur ekonomis proyek. Dengan demikian, nilai buku aktiva akan menurun pada tingkat yang konstan, mulai dari nilai investasi yang semula sampai dengan Rp 0 pada akhir umur ekonomis proyek. Hal ini berarti bahwa rata-rata nilai proyek adalah separuh dari nilai jumlah investasi yang semula. Latarbelakang pemikiran seperti ini sama dengan rata-rata persediaan yag digunakan dalam perhitungan EOQ yang sudah disajikan didepan.
Rata-rata investasi untuk masng-masingproyek adalah:
Rata-rata investasi                    =
Rata-rata investasi proyek A     = = Rp 3.000.000.00
Rata-rata investasi proyek B     = = Rp 3.600.000.00
Setelah mengetahui rata-rata laba bersih sesudah pajak dan rata-rata investasi, maka average rate of return untuk masing-masing proyek adalah sebagai berikut:
Average rate of return:
Proyek A     = = 0,333 atau 33,33%
Proyek B     = = 0,25 atau 25%
Dari hasil perhitungan di atas maka tampak bahwa proyek A lebih baik daripada proyek B karena average rate of returnnya lebih besar dibandingkan dengan average rate of return B.
Metode lain untuk menghitung average rate of return dari suatu proyek. Salah-satu dari metode tersebut menggunakan rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak. Dengan menggunakan metode di atas, maka perlu terlebih dahulu dihitung rata-rata cash inflow adalah:
Average cash inflow =
Di mana:        Average cash inflow = rata-rata cash inflow
∑ cash inflow          = total cash inflow
n                            = umur ekonomis proyek
Average cash inflow untuk:
Proyek A       = = Rp 2.000.000.00
Proyek B       = = Rp 2.100.000.00
Setelah mengetahui jumlah rata-rata inflow, maka perhitungan average rate of return dengan cara yang kedua adalah sebagai berikut:
Average rate of return =
Average rate of return untuk masing-masing proyek adalah:
Proyek A     = = 0,6667 atau 66,67%
Proyek B     = =
Dari hasil perhitungan di atas, maka proyek A menunjukkan average rate of return yang lebih besar daripada proyek B, dengan demikian. Keadaan proyek A lebih menguntungkan dibandingkan dengan proyek B.
Ada lagi metode lain yang sering digunakan dalam menentukan besarnya average rate of return yaitu dengan menggunakan initial investment sebagai penyebut dan bukannya average atau rata-rata initial investment. Dengan demikian, average rate of return untuk masing-masing proyek dapat dihitung sebagai berikut:
Average of return =
Proyek A               = = 0,1667 atau 16,67%
Proyek B               = = Rp 0,1250 atau 12,5%
Dengan mengggunakan metode average rate of return, maka keputusan-keputusan sehubungan dengan usulan proyek mana yang akan diterima harus didasarkan pada perbandingan antara average rate of return yang diperoleh oleh masing-masing proyek dengan average rate of return minimal yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Kebaikan-kebaikan dan kelemahan metode average rate of return
Aspek yang paling menguntungkan dalam penggunaan teknik average rate of return adalah kemudahan dalam penerapannya. Input utama yang harus diperoleh adalah jumlah investasi atau initial investment dan proyeksi keuntungan bersih sesudah pajak, di mana hal ini tidak terlalu sulit untuk diperoleh.
Adapun kelemahan-kelemahan dari average rate of return adalah sebagai berikut:
-      Kelemahan pertama adalah karena penggunaan “accounting income” (keuntungan bersih sesudah pajak). Akan tetapi hal ini bisa diatasi dengan menggunakan rata-rata cash inflow seperti yang disajikan dalam cara kedua di atas.
-      Kelemahan yang kedua adalah pengabaian terhadap nilai waktu dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. Seperti sudah dikemukakan dalam pembahasan mengenai present value, uang Rp 1.00 pada saat ini nilainya lebih besar dibandingkan dengan Rp 1.00 pada masa yang akan datang, di mana hal ini disebabkan karena adanya faktor bunga atau “nilai waktu dari uang”. Besarnya perbedaan antara uang Rp 1.00 saat ini dengan Rp 1.00 setahun kemudian adalah sebesar tingkat bunga yang berlaku. Perbedaan tersebut dapat diilustrasikan dengan menggunakan data dalam tabel 2.
Tabel 2
Perhitungan Average Rate of Return Untuk
Tiga Proyek Capital Expenditure

Proyek
Keterangan
X
Y
Z
1.    Initial investment
Rp 2.000.000,00
Rp 2.000.000,00
Rp 2.000.000,00
2.    Rata-rata investasi
Rp 1.000.000,00
Rp 1.000.000,00
Rp 1.000.000,00
Tahun

1
Rp 200.000,00
Rp 4.00.000,00
Rp 600.000,00
2
Rp 300.000,00
Rp 400.000,00
Rp 500.000,00
3
Rp 400.000,00
Rp 400.000,00
Rp 400.000,00
4
Rp 500.000,00
Rp 400.000,00
Rp 300.000,00
5
Rp 600.000,00
Rp 400.000,00
Rp 200.000,00
3.    Rata-rata EAT
Rp 400.000,00
Rp 400.000,00
Rp 400.000,00
4.    Average rate of return
5.    (3) : (2)


40%


40%


40%

Sekalipun average rate of return dari ketiga proyek tersebut di atas adalah sama, yaitu 40%, tetapi apabila faktor bunga ikut dipertimbangkan maka keadaannya akan lain. Manajer keuanagn perusahaan akan lebih menyukai proyek Z dibandingkan kedua proyek lainnya, dan akan lebih menyukai proyek Y dibandingkan dengan proyek X. Hal tersebut disebabkan karena uang yang lebih besar diterima pada saat ini akan dapat memberikan return yang lebih besar apabila diinvestasikan kembali pada proyek-proyek lain, dan hal ini tidak diperhitungkan dalam metode average rate of return.

2. Pay Back Period
Perhitungan payback period untuk suatu proyek ynag mempunyai pola cash inflow yang sama dari tahun ke tahun dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Perhitungan di atas yang menghasilkan payback period selama 3 tahun menunjukkan bahwa modal yang diinvestasikan dalam proyek A akan dapat tertutup selama 3 tahun. Tahun pertama akan tertutup sebanyak Rp 2.000.000,00 tahun kedua Rp 4.000.000,00 dan tahun ketiga Rp 6.000.000,00.
Dalam hubungannya dengan proyek B maka cara di atas tidak dapat digunakan karena cash inflow proyek  tidak sama dari tahun ke tahun. Untuk menentukan payback period proyek B maka perhitungan cash inflow yang diperoleh perlu dilakukan satu per satu, sebagai berikut:
Initial investment
Cash inflow: tahun 1
Rp 7.200.000.00
Rp 4.500.000.00 −
Belum tertutup
Tahun 2
Rp 2.700.000.00
Rp 2.200.000.00 −
Belum tertutup
Tahun 3
Rp 500.000.00
Rp 2.000.000.00 −
kelebihan
Rp 1.500.000.00

Cash inflow yang dibutuhkana dalam tahun ketiga untuk dapat menutup sisa initial investment adalah sebesar Rp 500.000,00 maka jumlah kebutuhan sebesar Rp 500.000,00 tersebut hanya menggambrkan 25% dari cash inflow tahun ketiga (Rp 500.000,00 : Rp 2.000.000,00) x 100%. Dengan perkataan lain cash inflow sebesar Rp 500.000,00 dalam tahun ketiga akan terkumpul dalam waktu 3 bulan (25 x 12 bulan). Dengan demikian, payback period untuk proyek B adalah 2,25 tahun atas 2 tahun 3 bulan. Perhitungan payback di atas dapat disederhanakan apabila dibuat jumlah kumulatif cash inflow dari tahun ke tahun seperti pada tabel 3 berikut:

Tabel 3
Initial Investment, EAT, Cash Inflow dan Kumulatif Cash Inflow
Untuk Kedua Usulan Proyek Perusahaan “Sari Delima” (dalam ribuan)
Proyek A
Initial investment Rp 6.000,00
Proyek B
Initial investment Rp 7.200,00
Tahun
EAT
Cash inflow
Cumulative cash inflow
EAT
Cash inflow
Cumulative cash inflow

Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
1)
1.000,00
2.000,00
2.000,00
3.300,00
4.500,00
4.500,00
2)
1.000,00
2.000,00
2.000,00
1.000,00
2.200,00
6.700,00
3)
1.000,00
2.000,00
6.000,00
800,00
2.000,00
8.700,00
4)
1.000,00
2.000,00
8.000,00
100,00
1.300,00
10.000,00
5)
1.000,00
2.000,00
10.000,00
100,00
1.300,00
11.300,00
6)
1.000,00
2.000,00
12.000,00
100,00
1.300,00
12.600,00

Dengan adanya data tentang kumulatif cash inflow maka secara langsung dapat dilihat bahwa initial investment untuk proyek A akan tertutup pada tahun ke-3, sedangkan payback period untuk proyek B dapat dihitung sebagai berikut:
Payback period = t
Di mana: t = tahun terakhir di mana umlah cash inflow belum menutup
initial investment.
B        = initial investment.
C        = kumulatif cash inflow pada tahun ke ,t,
D        = jumlah kumulatif cash inflow pada tahun t + 1
Dari contoh yang diberikan di atas, maka payback period  untuk proyek B adalah:
Payback period B =
= 2 + 0,25 = 2,25 tahun atau 2 tahun 3 bulan.
Dengan membandingkan payback period kedua proyek tersebut maka keadaan proyek  lebih menguntungkan dibandingkan dengan proyek A karena proyek B dapat menutup modal yang diinvestasikan dalam waktu yang lebih cepat.
Kebaikan-kebaikan dan Kelemahan Payback Period
Pengukuran usulan proyek capital budgeting dengan menggunakan metode payback period seringkali dikatakan lebih baik daripada metode average rate of return karena dalam perhitungannya digunakan cash inflow dan bukannya accounting income. Di samping itu, payback period juga mempertimbangkian (walaupun tidak sepenuhnya) secara implisit faktor “timing” atau saat penerimaan cash inflow, dan dengan demikian faktor waktu dari uang yang akan diterima. Payback period merefleksikan tingkat likuiditas suatu proyek (kecepatan dalam menutup kembali modal yang diinvestasikan), dan dengan demikian pertimbangan tentang risiko untuk dapat segera menutup kembali investasi dengan cash inflow yang dihasilkan oleh investasi tersebut.Semakin likuid suatu proyek, semakin kecil risiko yang dihadapi oleh perusahaan, demikian pula sebaliknya.
Kelemahan utama dari payback period adalah tidak mempertimbangkan sepenuhnya faktor atau nilai waktu dari uang.Pengukuran payback period menekankan pada “beberapa cepat modal yang diinvestasikan akan tertutup” sebenarnya hanya mempertimbangkan secara implisit saat atau timing penerimaan cash inflow.Kelemahan yang kedua timbul karena adanya suatu kenyataan sehubungan dengan penggunaan metode payback period yang tidak mempertimbangkan cash inflow sesudah investasi dalam suatu proyek tertutup.
3. Net Present Value (NPV)
Net present value adalah salah satu dari teknik capital budgeting yang mempertimbngkan nilai waktu uang yang paling banyak digunakan. Definisi atau perhitungan net present value (NPV) dilakukan sebagai berikut:
NPV = present cash inflow – present value investasi.
Keputusan tentang apakah suatu proyek dapat diterima atau tidak, akan sangat tergantung pada hasil perhitungan net present value dari proyek tersebut.
Untuk menghitung NPV, pertama menghitung present value dari penerimaan atau cashflow dengan tingkat discount rate tertentu, kemudian dibandingkan dengan present value dari investasi. Bila selisih antara PV dari cashflow lebih besar berarti terdapat NPV positif, artinya proyek investasi layak, sebaliknya bila PV dari cashflow lebih kecil dibanding PV investasi, maka NPV negatif dan investasi dipandang tidak layak.


Contoh:
Misalnya proyek senilai Rp. 600.000.000,- menghasilkan cashflow selama 4 tahun masing-masing Rp. 150.000.000,-; Rp. 200.000.000,-; Rp. 250.000.000; dan Rp. 300.000.000,-. Bila diinginkan keuntungan sebesar 15%, maka NPVnya bisa dihitung sebagai berikut :

Tabel 5
Perhitungan Net Present Value (r= 18%)
TAHUN
CASHFLOW
DISCOUNT FACTOR
R= 15%
PRESENT VALUE OF CASHFLOW
1
150.000.000,-
0,870
130.500.000,-
2
200.000.000,-
0,756
151.200.000,-
3
250.000.000,-
0,658
164.500.000,-
4
300.000.000,-
0,572
171.600.000,-
Total Present Value of Cashflow
Present Value of investment
NET PRESENT VALUE
617.800.000,-
600.000.000,-
17.800.000,-

Dari perhitungan tersebut diperoleh hasil NPV positif Rp. 17.800.000,- artinya proyek ini layak.

4. Profitability Index (PI)
Metode profitability index (PI) ini menghitung perbandingan antara present value dari penerimaan dengan present value dari investasi. Bila profitability index ini lebih besar dari 1, maka proyek investasi dianggap layak untuk dijalankan. Metode ini lebih sering digunakan untuk merangking beberapa proyek yang akan dipilih dari beberapa alternatif proyek yang ada. Untuk memilih proyek dari beberapa alternatif proyek, yang diutamakan adalah yang mempunyai profitability index paling besar. Rumus yang digunakan untuk mencari PI adalah sebagai berikut :
Bila kita menggunakan contoh pada metode NPV, maka bisa kita hitung profitability indexnya:
PI     = = 1,03
5. Internal Rate of Return
Internal rate of return (IRR) didefinisikan sebagai tingkat discount atau bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Engan perkataan lain. IRR adalah tingkat discount yang akan menyebabkan NPV sama degan nol, karena present value cash inflow pada tingkat discount tersebut akan sama dengan initial inveestment.
Perusahaan mengunakan teknik IRR dalam mengevaluasi usulan proyek capital budgeting, maka keputusan tentang diterima tidaknya proyek tersebut akan tergantung pada “beberapa rate of return yng diperoleh dibandingkan dengan cost of capital yang digunakan sebagai discount factor dalam memnentukan present value dari cash inflow yang diterima”. Kriteria penerimaan atau penolakan suatu usulan cash inflow ditentukan sebagai berikut:
Usulan proyek investasi akan diterima apabila:
        IRR ≥ cost of capital
Dan akan ditolak apabila:
        IRR < cost of capital
Perhitungan IRR
Perhitungan IRR harus dilakukan secara “trial and error” (coba-coba) sampai pada akhirnya diperoleh tingkat discount yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. Penentuan besarnya IRR untuk suatu pola cash flow yang berbentuk anuiler jauh lebih mudah dibandingkan dengan pola cash inflow yang tidak sama dari tahun ke tahun (mixed stream of flow). Dengan menggunakan contoh yang sudah diberikan di depan tentang perusahaan “Sari Delima” maka IRR untuk proyek A dan B daoat ditentukan sebagai berikut:
Perhitungan IRR untuk cash inflow yang berbentuk anuitet (proyek A). Perhitungan IRR untuk proyek A dan B dibahas secara terpisah mengingat pola cash inflow dari kedua proyek terseut berbeda satu sama lain, dalam artian bahwa pola cash inflow proyek A berbentuk anuitet, sedangkan pola cash inflow proyek B tidak sama dari tahun ke tahun.

IRR proyek A
Untuk menentukan IRR proyek A yang cash inflownya berbentuk anuited, maka diperlukan 3 langkah perhitungan:
1.     Hitungbesarnya payback period untuk proyek yang sedang dievaluasi.
2.     Gunakan Tabel !-4 (PVIFAi_n), dan pada baris umur prpoyek ,n, carilah angka yang sama atau hampir sama dengan hasil payback period dalam langkah 1 di atas. IRR tereltak pada persentase terdekat dari hasil yang diperoleh.
3.     Apabila masih diperlukan, maka dapat dilakukan langkah ketiga yaitu untuk menentukan besar IRR yng sesungguhnya dari suatu proyek dengan jalan mengadakan interpolasi.
Contoh: untuk mencari IRR ari usulan proyek perusahaan “sari Delima” maka IRR untuk proyek A dapat langsung dihitung dengan menggunakan langkah-langkah yang sudah disebutkan di atas. Langkah pertama yaitu menentukan payback period dari proyek A.
Payback period proyek A = = 3.000
Menurut tabel PVIFAi,n (langkah kedua) maka faktor yang terdekat dengan nilai sebesar 3.000 untuk jangka waktu 6 tahun adalah 3.020 (24%) dan 2,951 (25%). Dengan demikian, IRR proyek a terletak di antara tingkat discount 24-25%. Dengan membandingkan jarak dari rate yang sesungguhnya (3.000) dengan PVIFA 24% 6 dan PVIFA 25%,6 maka dapat disimpulkan bahwa IRR proyek A lebih mendekati 24%.
Untuk menetukan tingkat IRR yang sesunguhnya maka perlu dilaksanakan langkah ketiga yaitu dengan jalan mengadakan interpolasi atas hasil yang sudah diperoleh terseut, sebagai berikut:
Interpolasi
PVIFAi,n
PVIFAi,n
24%
3.020
3.020
Rate susungguhnya
25%

2,951−
0,069
3.000
0.020

IRR yang sebenarnya      = 24% +  x 1%= 24.28%
Mengingat cost of capital perusahaan “sari Delima” adalah sebesar 10%, maka IRR proyek A sebesar 24.28% enunjukkan keadaan yang sangat baik.
IRR proyek B
Perhitungan IRR untuk  cash inflow tidak sama dari tahun ke tahun. Untuk menghitung IRR cash inflow yang tidak berbentuk anuitet (mixed stream of cash inflow) jauh lebih kompleks dibandingkan dengan penghitungan IRR untuk cash inflow yang tidak berbentuk anuitet. Salah satu cara untuk menyederhanakan perhitungan IRR untuk cash inflow  yang tidak berbentuk anuitet adalah dengan jalan “menganggap cash inflow tersebut solah-olah” suatu anuitet dengan jalan mengambil rata-ratanya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
1.     Hitunglah rata-rata cash inflow per tahun.
2.     Bagilah initial investment dengan rata-rata tersebut untuk mengetahui “perkiraan” payback period dari proyek yang sedang dievaluasi.
3.     Gunakanlah tabel a-4 untuk menghitung besarnya IRR seperti langkah ke-2 dalam menghitung IRR untuk pola cash inflow yang berbentuk anuitet. Hasil yag diperoleh akan merupakan “perkiraan IRR”.
4.     Kemudian sesuaikanlah (adjust) IRR yang diperoleh dalam langkah ke-3 di atas (diperbesar atau diperkecil) ke dalam pola cash inflow yang sesungguhnya. Apabila cash inflow yang sesungguhnya dalam tahun-tahun pertama ternyata lebih besar dari rata-rata yang dipeoleh dalam langkah 1 di atas, maka perbesarlah tingkat disvount yang digunakan, dan apabila sebaliknya maka perkecillah discount tersebut.
5.     Denganmengunakan discount rate baru yang diperoleh dalam langkah ke-4, hitunglah net present value dari proyek tersebut.
6.     Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari nol, maka naikkanlah discount rate yang digunakan, dan apabila sebaliknya, maka turunkanlah discount rate tersebut.
7.     Hitunglah kembali NPV dengan  menggunakan disrate yang baru, sampai akhirnya diperoleh discount rate yang secara erurutan menghasilkan NPV yang positif dan negatif. Dengan mengadakan interpolasi, maka IRR yang sebenarnya akan dapat ditentukan.
Contoh aplikasi dari ke-7 langkah tersebut di atas ke dalam data poyek B adalah sebagai berikut:
1.     Rata-rata cash inflow = Rp 2.100.000.00 (Tabel 14.1)
2.     Perkiraan besarnya payback period:        = =3.429
3.     Dalam tabel A-4 (PVIFAi,n) pada ,n.6 tahun diketahui bahwa nilai yang terdekat dengan 3.429 adalah 3.410 pada discount rate sebesar 19%. Dengan demikian, discount rate sebesar 19% ini akan dijadikan sebgai titik awal penentuan IRR yang sebenarnya.
4.     Karena itu cash inflow pada tahun-tahun pertama lebih besar dari rata-rata cash inflow maka secara subyektif discount rate tersebut dinaikan sebesar 3% menjadi 22%.
5.     Dengan menggunakan discount rate sebasar 22%, maka selanjutnya dihitung berapa NPV dari proyek tersebut (lihat tabel6)
6.     Karena NPV yang diperoleh dalam langkah 5 di atas masih jauh lebih besar dari nol, maka discount rate tersebut harus ditingkatkan lagi, misalnya 26%. Perhitungan NPV pada tingkat discount 26% disajikan pada tabel 7. Perhitungan pada tabel 7 menunjukkan bahwa dengan discount rate sebesar 26%, NPV sudah semakin kecil tetapi masih lebih besar dari nol. Dengan demikian discount rate harus ditingkatkan lagi, dan sekarang kita mencoba untuk menghitung NPV yang positif dan negatif, maka proses trial and error tersebut sudah dapat dihentikan karena IRR untuk proyek B.

Tabel 6
Perhitungan NPV Proyek B pada discount Rate sebesar 22%
Tahun
Cash inflow
(1)
PVIF 22%
(2)
Present value
(1) X (2)
1
Rp 4.500.000,00
0,820
Rp 3.690.000,00
2
Rp 2.200.000,00
0,672
Rp 1.478.400,00
3
Rp 2.000.000,00
0,551
Rp 1.102.000,00
4
Rp 1.300.000,00
0,451
Rp 586.300,00
5
Rp 1.300.000,00
0,370
Rp 481.000,00
6
Rp 1.300.000,00
0,303
Rp 393.300,00 +

Total PV cash inflow
PV initial investment

Rp 7.731.600,00
Rp 7.200.000,00 −


NPV
Rp 531.600,00

Tabel 7
Perhitungan NPV Proyek b pada Discount rate Sebesar 26%
Tahun
Cash inflow
(1)
PVIF 26 %
(2)
Present value
 (1) x (2)
1
Rp 4.500.000,00
0,794
Rp 3.573.000,00
2
Rp 2.200.000,00
0,630
Rp 1.386.000,00
3
Rp 2.000.000,00
0,500
Rp 1.000.000,00
4
Rp 1.300.000,00
0,397
Rp 516.100,00
5
Rp 1.300.000,00
0,315
Rp 409.500,00
6
Rp 1.300.000,00
0,250
Rp 325.000,00 +

Total PV cash inflow
PV initial investment


NPV
Rp 7.209.600,00
Rp 7.200.000,00 –
Rp 9600,00

Perbandingan Antara Teknik NPV dan IRR
Perbedaan pokok di antara kedua pendekatan ini terletak pada asumsi tentang discount rate yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi penginvestasian  kembali cash inflow yang diperoleh. NPV mengasumsikan bahwa cash  inflow yang diterima diinvestasikan kembali pada tingkat cost of capital atau discount rate minimum yang digunakan dalam perhitungan sebelumnya, sedangkan IRR mengasumsikan bahwa cash inflow yang diterima diinvestasikan kembali pada tingkat discount sebesar IRR.
Apabila benar cash inflow yang diterima tersebut dapat diinvestasikan lagi pada tingkat discount sebesar IRR, maka teknik IRR akan memberikan hasil yang sebenarnya, dan apabila tidak demikian halnya, maka sebaiknya digunakan teknik NPV.
Salah satu cara untuk memecahkan konflik tersebut adalah dengan jalan mencari IRR dari kelebihan/incremental cash inflow. Istilah incremental di sini dimaksudkan sebagai kelebihan jumlah investasi dan cash inflow dari suatu proyek terhadap proyek lainnya.
Contoh:
Untuk mempermudah perhitungan, maka dibawah ini akan diberikan sebuah contoh tentang 2 buah proyek yang mempunyai cash inflow untuk jangka waktu 1 tahun.
Perusahaan “X” sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk membeli salah satu dari dua mesin yang tersedia, mesin F dan mesin G. Mesin F membutuhkan initial investment sebesar Rp 60.000,00, sedangkan mesin G sebesar Rp 100.000,00. Cash inflow yang dihasilkan oleh masing-masing mesin tersebut adalah Rp 72.000,00 untuk mesin F dan Rp 118.000,00 untuk mesin G. Cost of capital ditetapkan sebesar 10%.

Tabel 8
Perbandingan Antara Mesin F dan G
Keterangan
Tahun 0
Tahun 1

investasi
Cash inflow

Mesin F
(Rp 60.000,00)
Rp 72.000,00
20%
Mesin G
(Rp 100.000,00)
Rp 118.000,00
18%
Mesin (F-G)
(Rp 40.000,00)
Rp 46.000,00
15%
**Perhitungan IRR untuk masing-masing proyek dilakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya

Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka secara sederhana pilihan akan jatuh pada mesin F karena IRR-nya lebih besar dari pada mesin G. Tetapi apakah memang benar demikian? Apabila NPV kedua mesin tersebut dihitung dengan menggunakan cost of capital sebesar 10% maka ternyata mesin G lebih menguntungkan karena NPV-nya lebih besar dibandingkan dengan mesin F. Perhitungan NPV untuk kedua mesin tersebut adalah :
Mesin F
Cash inflow                 PVIF 10%                   Present value cash inflow
Rp 72.000,00                  0,909                      Rp 65.448,00
                            Initial investment              (Rp 60.000,00)
 

                                      NPV mesin F           Rp     5.448,00       


Mesin G
Rp 118.000,00                0,909                      Rp 107.000,00
                            Initial investment              Rp 100.000,00
                           
NPV mesin G                                       Rp      7.262,00


Dari hasil perhitungan NPV tersebut ternyata bahwa mesin G mempunyai NPV yang lebih besar Rp 7.262,00 dibandingkan dengan mesin F yang NPV-nya hanya sebesar Rp 5.448,00. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa teknik IRR tidak mempertimbangkan besarnya atau “scale” dari net present value yang dihasilkan oleh suatu proyek. Selanjutnya dari hasil perhitungan dalam tabel 14.13 di atas, ternyata IRR untuk incremental (G-F) adalah sebesar 15% dimana hal ini masih lebih besar daripada cost of capital yang ditetapkan.
Grafik NPV dan IRR
Hubungan antara NPV dengan discount factor dapat ditunjukkan dalam sebuah grafik yang disebut dengan istilah “net present value profile”. Dalam grafik tersebut digambarkan net present value untuk tingkat discount yang berbeda-beda dan tingkat discount di mana tercapainya IRR maka net present value adalah nol. Net present value profile untuk proyek A dan B (berdasarkan data yang disajikan dalam tabel 1) dapat dibuat sebagai berikut (lihat gambar 1).
Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa pada tingkat discount rate sebesar 0%, NPV untuk masing-masing proyek adalah sebesar selisih antara cash inflow dengan initial invesment. Net present value proyek A pada discount rate sebesar 0% adalah Rp 6.000.000,00 dan proyek B sebesar Rp5.400.000,00. Dengan semakin besarnya discount rate, maka selisih NPV kedua proyek tersebut akan semakin mengecil dan pada discount rate sekitar 12%, NPV untuk kedua proyek tersebut relatif lama. Selanjutnya pada discount rate di atas 12% NPV untuk proyek B akan lebih besar di bandingkan  dengan NPV proyek a. NPV untuk kedua proyek masih tetap positif sampai dengan tingkat IRR-nya masing-masing 24,29% untuk proyek A dan 26,08% untuk proyek B.

Gambar 1
Net Present Value Profile untuk Proyek A dan B

Teknik Mana yang Lebih Baik: NPV Ataukah IRR?
Teknik NPV dengan IRR. Kelebihan teknik NPV antara lain:
a.     NPV mengasumsikan bahwa cash inflow yang sudah diterima sebelum berakhirnya umur proyek, diinvestasikan lagi pada tingkat discount sebesar cost of capital perusahaan, sementara teknik IRR mengasumsikanbahwa investasikembali tersebut dilakukan pada tingkat IRR di mana hal ini seringkali tidak realistis.
b.     Bukanlah suatu hal yang tidak biasa terjadi dalam pola cash flow yang non konvensional di mana suatu proyek memiliki leih dari satu IRR. IRR yang lebih dari satu ini disebabkan karena aspek matematik dalam perhitungan-perhitungan yang dilakukan, (pembahasan mengenai proyek yang mempunyai lebih dari satu IRR tidak akan dibahas dalam bku ini).
c.     Dalam keadaan-keadaan tertentu, mungkin saja suatu proyek tidak mempunyai IRR.
Teknik NPV tidak mengandung kelemahan seperti yang disebutkan diatas, maka secara teoritis teknik ini lebih baik dibandingkan dengan teknik IRR. Akan tetapi sekalipun demikian, banyak perusahaan-perusahaan besar yang lebih menyukai teknik IRR daripada teknik NPV. Hal ini disebabkan karena IRR lebih mudah dihubungkan dengan data finansial perusahaan.
Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan diatas teknik mana yang lebih baik, NPV atau IRR? Maka jawaban yang dapat diberikan adalah: “secara teoritis NPV yang lebih baik”.

6. Capital Rationing
Tujuan daripada capital rationing adalah untuk memilih di antara proyek-proyek tersebut yang akan memaksimumkan atau yang akan memberikan kontribusi yang paling besar kepada pemilik perusahaan. Secara umum hal tersebut dilakukan dengan jalan memilih proyek-proyek yang akan memberikan total net present value yang tertinggi.
Pendekatan Internal Rate of Return
Dengan menggunakan pendekatan internal rate of return dalam capital rationing, maka IRR dari masing-masing proyek akan dibandingkan dengan modal yang sudah dibudgetkan untuk melakukan investasi. Penilaian tersebut akan dimulai dari IRR yang tertinggi sampai ke IRR yang terendah. Dengan menarik sebuah garis dari titik rate if return minimum yang ditetapkan akan dapat diketahui proyek-proyek mana saja yang dapat diterima, dan langkah selanjutnya adalah membandingkan proyek-proyek yang dapat diterima tersebut dengan jumlah budget yang tersedia.

Contoh:
Perusahaan “Bianglala Putih” memiliki modal sejumlah Rp 20.000.000,00 untuk diinvestasikan, dan pada saat ini perusahaan sedanga mempertimbangkan 6 buah proyek.Jumlah investasi dan IRR untuk masing-masing proyek disajikan pada tabel 9.

Tabel 9
Jumlah Investasi dan IRR untuk Masing-Masing Proyek
Proyek
Initial Invesment
IRR
Ranking
A
Rp 8.000.000,00
12%
1        B
B
Rp 7.000.000,00
20%
2        C
C
Rp 10.000.000,00
16%
3        E
D
Rp 4.000.000,00
8%
4        A
E
Rp 6.000.000,00
15%
5        F
F
Rp 11.000.000,00
11%
6        D

Diketahui bahwa cost of capital perusahaan “Bianglala Putih” adalah sebesar 10%. Gambar 2 menyajikan susunan dari proyek yang sedang dievaluasi berdasarkan urutan besarnya IRR.
Menurut gambar 2 maka hanya proyek B, C dan E saja yang dapat diterima. Ketiga proyek tersebut akan menyerap dana sebesar Rp 23.000.000,00 dari jumlah besar Rp 25.000.000,00 yang dibudgetkan. Proyek D tidak perlu dipertimbangkan karena rate of return yang dihasilkan lebih dari cost of capital yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

0 komentar:

Posting Komentar